Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PANDANGAN IBNU ARABI TERHADAP AYAT BASMALAH


Nama lengkap Ibn Arabi adalah Al-Syaikh Al-Akbar Muhammad Muhyiddin Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abdullah Al-Tha’i Al-Hatimi Al-Andalusi. Beliau dilahirkan pada hari senin bulan ramadan tahun 560 H di Mursia Andalusia dan meninggal bertepatan pada malam jum’at bulan rabi’ al-tsani tahun 638 H di Damaskus.
Dalam dunia fikih, beliau pada awalnya bermadzhab kepada Ibn Hazm Al-Dzahiri, namun dalam praktiknya beliau juga banyak mendalami dan belajar kepada berbagai kalangan madzhab fikih, misalnya kepada Qasim Ibn Ali Al-Syafi’i dan lain sebagainya. Sehingga, pada akhirnya beliau lebih memilih untuk tidak taqlid pada satu madzhab, yang kemudian muncullah madzhab Akbariyah al-Dzahiriyah yang digagas oleh beliau sebagai imam mujtahid muthlaq.
Namun, beliau lebih dikenal sebagai seorang filosof dan sufi dengan kedalaman ilmunya yang banyak dikagumi dan dijadikan pijakan oleh sebagian besar tokoh-tokoh tasawwuf. Thariqah beliau bernama thariqah Al-Akbariyah yang sebagian besar tertuang dalam kitab beliau yang berjudul Futuhat Al-Makiyah, Fushush Al-Hikam dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau tentang ilmu dzauq (rasa), termasuk dalam kitab-kitab tafsir beliau yang berjudul al-jam’u wa al-tafshil fi asrar al-tanzil dan al-tafsir al-kabir.
Allah berfirman dalam Surah Al-Kahfi ayat 109 “katakanlah wahai kekasihku Muhammad, seandainya lautan dijadikan sebagai tinta untuk menulis kalam-kalam ilmu dan hikmah dari Allah, maka lautan itu akan kering sebelum selesai menulisnya, meskipun kami tambahkan lagi air lautan itu”. Nabi juga bersabda “seandainya saya berkehendak menafsirkan surah al-fatihah, maka tujuh puluh unta akan keberatan untuk membawa tulisan-tulisan penafsiran tersebut”.
Nabi Muhammad SAW pernah mengulang-ulang bacaan basmalah sampai dengan dua puluh kali. Hal ini dilakukan tidak lain: pertama, untuk memahami dan membedah makna basmalah dari sisi yang tersirat dalam teks basmalah tersebut, kalau tidak demikian lalu untuk apa beliau mengulang-ulangnya kalau hanya untuk memahami dari teks yang tersurat. Kedua, untuk memberi pelajaran atau pengetahuan bahwa ilmu yang tercantum dalam satu ayat saja itu sangat beragam dan banyak bentuk untuk memahaminya.
Bentuk-bentuk tersebut sebagaimana dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW "bahwa setiap ayat itu mengandung makna lahir, batin, had, dan mathla’”. Dijelaskan oleh KH. Ahmad Asrari Al-Ishaqi dalam kitabnya al-muntakhabat, bahwa makna lahir itu bagi orang yang berkonsentrasi pada lahir lafadz seperti ulama nafwu dan ahli bahasa, sedangkan makna batin itu bagi orang berkonsentrasi pada pengertian kalimat serta petunjuknya, seperti perintah, larangan, cerita, dan tauhid dalam pandangan Ahli Tafsir. Had itu bagi orang yang berkonsentrasi pada penggalian hukum, seperti yang yang dilakukan oleh Ahli Ushul Fikih dan Ahli Fikih. Sedangkan mathla’ itu bagi Ahli Hakikat atau pembesar kaum sufi, di mana cara pandangnya dalam memahami Al-Qur’an sangat universal, mulai dari lahir ayat sampai pada batinnya, sehingga dapat menyingkap rahasia-rahasia dan maknanya yang sangat dalam.
Jika kita lihat dari pernyataan di atas, Ibn Arabi termasuk ulama yang memahami ayat basmalah dalam bentuk mathla’, namun beliau bukan berarti mengabaikan ketetapan dan makna lahir lafadz yang biasa digunakan dalam sudut pandang Ahli Tafsir dan Fikih, sebab pandangan seorang sufi itu lebih luas dari pada sudut pandang yang lain. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengabaikan ketetapan dan makna lahir, maka ia tergolong batiniyah yang keluar dari syariah, bahkan keluar dari tasawwuf. Berikut kami paparkan cara pandang beliau terhadap ayat basmalah:
Pertama, beliau mengatakan bahwa kalimat basmalah sebagai awal wujudnya seluruh kehidupan di semesta alam. Dalam kalimat tersebut terdapat tiga nama Tuhan, yaitu Allah sebagai ism dzat dan ism jami’ (kumpulan seluruh nama-nama Tuhan), Al-Rahman sebagai kasih sayang yang sifatnya menyeluruh baik di alam dunia maupun alam akhirat, Al-Rahim sebagai kasih sayang Allah yang sifatnya khusus di alam akhirat bagi orang yang beriman. Dengan demikian, kasih sayang Allah itu menyeluruh di semesta alam, sifat Al-Rahman Allah di dunia tidak memandang status suku, ras seseorang, atau bahkan agama seseorang. Sebab sifat dunia ini seperti bentuknya yang bulat, status seseorang terkadang di atas dan terkadang di bawah, orang yang sepanjang hidupnya tidak beragama Islam terkadang di akhir hidupnya ia masuk Islam, begitu juga sebaliknya. Terkadang di masa mudahnya berperilaku jahat, namun di masa tuanya ia bertaubat, begitu juga sebaliknya. Sehingga kita tidak diperbolehkan merendahkan atau mencaci maki siapapun, karena kita tidak tahu apakah di waktu yang akan datang Tuhan justru berkendak lain dan secara hakikinya akal kita terbatas atas sesuatu dibalik kejadian.
Menurut hemat penulis, hikmah dari susunan kata sebagaimana nama Allah lebih didahulukan dari pada nama Al-Rahman dan Al-Rahim, menunjukkan bahwa suatu perjalanan spiritualitas seseorang yang telah sampai kepada Allah, pasti akan dianugerahi sifat belas kasih kepada siapapun sebagaimana sifat para nabi dan sifat para wali Allah. Ia akan melihat siapapun dan apapun dengan pandangan belas kasih, dengan tidak membeda-bedakan antara ras, suku dan agamanya.
Kedua, pada huruf ba’ (ب) dalam kalimat basmalah terdapat titik yang berada di bawah, hal ini menunjukkan bahwa titik di bawah tersebut bemakna orang yang menyembah, sedangkan ba’ sendiri berarti yang disembah. Dengan demikian, huruf ba’ secara keseluruhan berarti biy qama wa dzahara  kullu syai’ (sebab saya “Allah”, segala sesuatu dapat terjadi dan wujud), sehingga pada dasarnya setiap makhluk mengakui adanya tuhan sebagai pencipta dan mengakui bahwa dirinya adalah seorang hamba sebagai ciptaan, sebagaimana pernyataan kita kepada tuhan ketika masih berada di alam ruh,  alastu bi robikum, qalu bala (bukankan saya adalah Tuhan kalian? Seluruh makhluk menjawab, iya engkau Tuhan kami). Namun, ketika kita dipindahkan ke alam dunia, kesadaran dan pengakuan tersebut sering terlupakan atau hilang begitu saja.
Hal ini dikarenakan kita tidak dapat melihat hakikat keberadaan huruf alif yang tidak tertulis setelah huruf ba’, sebagaimana dinyatakan dalam satu hadis: bahwa suatu saat Nabi Muhammad SAW ditanya oleh seorang sahabat terkait hilangnya huruf alif setelah ba’. Beliau menjawab: ia dicuri oleh setan. Gambaran perilaku setan yang mencuri huruf alif ini menunjukkan bahwa ia berusaha menghalang-halangi atau menyembunyikan kebenaran dari manusia, sedangkan puncak dari segala kebenaran adalah mengenal Tuhannya. Dengan demikian, kita akan mengerti siapa diri kita dan siapa tuhan kita, siapa yang berstatus sebagai hamba dan siapa yang patut disembah, siapa yang berhak menyombongkan diri dan siapa yang wajib berprilaku tawadu’, siapa yang berhak bertindak sewenang-wenang dan siapa yang wajib menahan diri untuk tidak bertindak sewenang-wenang.
Suatu hijab atau penghalang yang pertama kali tidak lain adalah akwan (sesuatu selain Allah), yang dapat menghalang-halangi seseorang untuk melihat kebenaran, sebagaimana kita sering terjerumus hanya melihat dari sisi depan suatu kejadian atau hanya melihat bungkusnya tanpa memperhatikan sesuatu dibalik kejadian tersebut atau isinya. Jika hijab yang tergolong akwan tersebut tersingkap, maka akan melihat af’al atau perilaku Tuhan, dengan demikian ia akan mudah bertawakal kepada Allah. Sebab segala sesuatu dan kejadian apapun itu ada yang berkendak dan menggerakkan, jika ia berada dalam maqam tawakal, pasti ia akan melihat perbuatan dan kehendak Allah di dalamnya. Jika hijab af’al tersebut tersingkap, maka akan melihat sifat-sifat Allah, dengan demikian ia akan mudah untuk tunduk dan rida serta berserah diri kepada Allah. Jika hijab awshaf atau sifat-sifat Allah tersingkap, maka ia akan dapat melihat dzat Allah dengan mata hatinya, dengan demikian ia akan masuk ke dalam maqam fana’.

Sumber Rujukan

Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad Ibn Ali. Tafsir Ibn Arabi. (Beirut: Dar Al-Kukub Al-Ilmiyah, 2011), Juz. I, 3, 27-28.
Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad Ibn Ali. Al-Futuhat Al-Makiyah. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999), Juz. I, 158-159.
Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad Ibn Ali. Rasail Ibn Arabi (T.T.: Mansyurat Al-Mujma’ Al-Tsaqafi, T.Th.), 13.
Nuruddin, Abdurrahman Ibn Ahmad. Syarh Al-Jamiy Ala Fushush Al-Hikam, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2004), 15.
Al-Ghirabi, Mahmud. Al-Fiqh Inda Al-Syaikh Al-Akbar (Saudi Arabiah: Al-Mamlakah Al-Arabiyah Al-Sa’udiyah, 1993), 9.
Al-Kamasykhanawi, Ahmad. Jami’ Al-Ushul Fi Al-Auliya. (Surabaya: Haramain, T.Th.), 3.
Al-Ishaqi, Ahmad Asrari. Al-Muntakhabat Fi Rabithah Al-Qalbiyah Wa Shillah Al-Ruhiyah. (Surabaya: Al-Khidmah, 2016), Juz. I, 171, 175, 289.

Penulis: Mufti Kamal

Posting Komentar untuk "PANDANGAN IBNU ARABI TERHADAP AYAT BASMALAH"